Kemarin, seorang teman dekatku bercerita mengenai rasa kecewanya terhadap beberapa orang disekitarnya yang tak henti melontarkan pertanyaan seputar "kapan nikah?'. Well, pertanyaan tersebut tidak selalu mengandung arti sindiran atau ejekan, justru bisa saja merupakan wujud sayang dan kepedulian seseorang terhadap orang lain.
Seperti yang kita semua pahami, pertanyaan "kapan nikah?" memang agak sensitif bagi sebagian orang dengan alasan yang berbeda-beda. Barangkali, Si A lelah dengan pertanyaan tersebut karena ia merasa sudah berusaha maksimal untuk menjemput jodoh, namun sang jodoh belum juga datang, lain halnya dengan Si B yang sebenarnya santai, namun jadi gelisah karena orang-orang kerap menghujaninya dengan pertanyaan sejenis, atau ada juga orang sepertiku yang super cuek dan santai menghadapi pertanyaan itu, dan masih banyak lagi kemungkinan berupa prioritas atau masalah masing-masing individu yang tidak perlu terbaca oleh orang lain.
Cerita temanku ini, tidak berhenti pada pertanyaan "kapan nikah?" saja. Si Penanya menyempurnakan pertanyaan itu dengan saran yang (maaf) kurang ajar, dan terdengar seperti merendahkan. Kalimat berkonotasi negatif semacam "kalau gak laku, kayak di tempat X aja tuh, diobral!" yang merupakan bumbu pedas dari pertanyaan "Kapan Nikah?", sangat tidak layak dilontarkan menurutku. Aku yang hanya mendengar cerita secara tidak langsung saja, merasa kesal dengan kalimat itu. Jika ada yang beranggapan "Ah, baper banget, sih. Orang cuma bercanda juga". Maaf nih, yaa, aku sebagai perempuan akan merasa tidak dihormati sekaligus direndahkan jika disuguhkan bercandaan semacam itu.
Jika memang seseorang ingin teman atau kerabatnya segera bertemu jodoh, bukankah mendo'akan jauh lebih baik daripada melontarkan lelucon aneh semacam itu? Lagipula, jika Si Manusia yang Belum Nikah ini masih merasa nyaman dan baik-baik saja dengan kesendiriannya, kenapa orang lain yang repot? Ok, jika itu memang wujud kepedulian yaa silakan kemas kalimatnya dengan baik.
Isi setiap kepala memang beda, maka dari itu, menghargai perbedaan pastilah akan menghasilkan lingkungan yang indah.
Setiap manusia memiliki jalan hidup yang tidak sama. Jika Si A lebih dulu diberi kebahagiaan melalui pernikahan, mungkin Si B diberi bahagia melalui kesuksesan karirnya dulu, atau bisa jadi Si C bersinar dengan karya-karyanya. Yang Maha Mengatur Jalan Hidupmu adalah Yang Paling Adil. Jadi, perlukah seseorang menarik satu benang merah yang menjadi bagian dari hidupnya, sebagai keharusan bagi hidup orang lain juga?
Satu lagi yang menggelitik. Perlu diketahui, bahwa mereka yang saat ini jomblo (tidak pacaran, dan tidak sedang dekat dengan laki-laki yang berlabel sahabat, adik-kakak, atau apapun) bukan berarti tidak laku. Bisa jadi, mereka memang memiliki prinsip untuk membatasi dirinya dalam menjalin kedekatan dengan lawan jenis. Lucunya, banyak juga yang menganggap Si Jomblo ini adalah seorang "pemilih". Hmm... Bukankah kita memang harus memilih calon pasangan yang "pas" atau sekiranya baik untuk kita? Adakah orang yang mau asal dinikahi siapa saja dengan dalih "yang penting nikah, lah"?. Memilih bukan berarti repot dengan deretan kriteria yang mungkin terlalu berlebihan, atau tidak disesuaikan dengan diri sendiri, tapi memilih berarti kita menilai sejauh mana tingkat kecocokan kita dengan calon pasangan berdasarkan apa yang ada pada diri sendiri. Aku yakin, setiap orang mampu menilai dirinya sendiri secara objektif, dan akan memilih seseorang yang satu frekuensi, satu pemikiran, satu prinsip, atau kesamaan dalam segi apapun untuk dijadikan pasangan.
"Terus, kalau kamu jomblo dan sedang tidak dekat dengan laki-laki, gimana mau dapat jodoh? Kan perlu usaha." Huh, rasanya aku ingin menarik napas panjang menanggapi pertanyaan ini. Apakah usaha menjemput jodoh hanya bisa dilakukan dengan menjalin kedekatan terhadap lawan jenis saja? Bukankah memantaskan diri merupakan salah satu bentuk usaha? Ya, dengan cara menuntut ilmu mengenai kehidupan rumah tangga, ilmu parenting, belajar masak, berlatih menjadi pribadi yang lebih baik, lebih sabar, dan semacamnya, banyak sekali yang perlu dibawa sebagai bekal dan harus dipersiapkan sebelumnya.
Nikah itu bukan hanya perkara "menikmati romantisme" saja. Aku percaya, bahwa mereka yang sudah nikah merupakan orang-orang yang dinyatakan sudah "pantas dan siap" oleh-Nya untuk berada dikehidupan pernikahan. Penilaian-Nya tidak pernah salah, kan? Sedangkan yang belum menikah, yaa memantaskan diri bisa juga jadi alternatif usaha yang dilakukan sambil menunggu sang pujaan hati datang meminang. Percayalah, bahwa skenarionya-Nya selalu indah. Nikmati saja alur hidup masing-masing! Semua ada jatah waktunya, kok.
Nikah itu bukan hanya perkara "menikmati romantisme" saja. Aku percaya, bahwa mereka yang sudah nikah merupakan orang-orang yang dinyatakan sudah "pantas dan siap" oleh-Nya untuk berada dikehidupan pernikahan. Penilaian-Nya tidak pernah salah, kan? Sedangkan yang belum menikah, yaa memantaskan diri bisa juga jadi alternatif usaha yang dilakukan sambil menunggu sang pujaan hati datang meminang. Percayalah, bahwa skenarionya-Nya selalu indah. Nikmati saja alur hidup masing-masing! Semua ada jatah waktunya, kok.